Minggu, 10 Januari 2016 : 06.30 WIB saya hampir selesai
mencuci sepeda motor trail modifikasian yang kemarin dipakai ke kebun, untuk
melihat perkembangan bibit pohon akasia yang ditanam sebulan lalu saat
menjelang musim hujan. Sisa-sisa tanah
yang menempel di ban sudah hampir hilang, dan ‘kuda binal’ pun tampak kembali kinclong. Tetapi rasa penasaran menguji
adrenalin masih terasa demikian tinggi.
Jarak dari rumah ke kebun hanya sekitar 1,5 km. Jalan yang
dilewati, meskipun jalan setapak, tapi konturnya kurang menantang. Karena letak kebun milik keluarga kami
hanyalah di perbukitan yang landai memang. Maka ketika mata saya menatap nun ke
deretan gunung di utara, muncul niat untuk berpetualang , sekedar mencari udara
segar, dan menikmati keindahan alam pegunungan.
Hanya saja saya masih menimang-nimang, kira-kira daerah
pegunungan mana yang jadi tujuan. Bila menyusuri jalan beraspal menanjak ke
arah utara, melewati desa Guranteng, lalu
Sindangbarang, yang dikatakan Pepih Nugraha, terletak di "atap dunia",
kemudian setelah itu, sekitar 2 km dari Sindangbarang – sebuah desa di wilayah
Kabupaten Ciamis paling utara, setelah memasuki perbatasan Kabupaten Majalengka
di sebelah selatan, sebenarnya akan ditemui sebuah destinasi wisata alam yang
dinamakan orang sekitar sebagai Taman KNPI. Bisa jadi karena Organisasi pemuda
itulah yang menjadi pelopor terwujudnya wisata alam tersebut. Hanya saja bagi
orang setua saya, tempat itu sepertinya tidak cocok. Bukan karena alamnya sudah
rusak, bukan, melainkan sesuatu yang tidak menutup kemungkinan akan merangsang
hasrat untuk kembali muda lagi. Betapa tidak, karena di taman itu seringkali
dijumpai muda-mudi yang sedang memadu-kasih. Apalagi di hari Minggu seperti
sekarang ini, kemungkinan besar taman itu di setiap gerumbul semaknya akan
ditemui remaja yang dimabuk cinta. Ah, sepertinya akan lebih baik ke arah barat
laut saja, yakni ke sebuah lereng yang diapit gunung Putri dan Gunung
Cakrabuana, yaitu Bunar. Dari Pagerageung ke arah sana jaraknya paling hanya
sekitar 3 km saja. Dengan melewati desa Nanggewer, lalu naik ke arah barat,
masuk kampung Nyalenghor, dan setelah melewati kebun kopi milik warga, bertemu
lagi dengan sebuah kampung bernama Pangkalan, sementara jalan yang dilalui semakin
menanjak dan berkelok-kelok. Setelah melewati kampung Pangkalan, pemandangan
akan mengingatkan pada sawah yang seperti di Bali, sedangkan di kiri jalan
tampak dinding tebing yang penuh dengan
semak dan pepohonan, tak lama kemudian, di antara pesawahan akan terlihat
terselang oleh hamparan pohon teh.
Jejak Penjajah Belanda di Atas Curug Gedong
Jalan yang hanya bisa masuk untuk mobil ukuran kecil itu
masih menanjak dan berkelok tajam. Areal pesawahan pun tak tampak lagi. Di kiri
kanan jalan bertebing sedikit landai, terhampar pepohonan teh yang rimbun
menghijau. Suhu udara terasa semakin dingin, padahal matahari yang sedikit
malu-malu sudah menampakkan diri di sebelah belakangku.
Lima menit kemudian terlihat perkampungan. Dan itulah yang
disebut kampung Bunar. Perkampungan terahir yang ditemui di kawasan itu. letak
pemukiman di sebelah kanan berada di bawah jalan, bersambung dengan deretan
kedua rumah-rumah itu di bawahnya lagi. Sedangkan di sebelah kiri jalan, rumah
penduduk yang seluruhnya terdiri dari 60 KK itu berada di atas tebing dan
berderet terus ke atas mengikuti kontur tanah sebagaimana lazimnya wilayah pegunungan.
Di tengah perkampungan, jalan yang akan dilalui tanjakannya
hampir mencapai 60 derajat , dan panjangnya ada sekitar seratus meter,
berukuran 1,5 meter. Sudah tentu
kendaraan roda empat tidak akan bisa melaluinya. Sedangkan bagi saya justru
menjadi suatu hal yang menantang untuk memacu ‘kuda binal’made in Japan, karena memang
trek semacam itulah yang bisa menjadi ajang uji adrenalin.
Menurut penuturan seorang tua penduduk kampung Bunar, Endang Adnan (70) sebagian besar warganya
merupakan keturunan langsung dari Eyang Nurhasan, yang semasa hidupnya bekerja
sebagai abdi, atawa jongos dari seorang Belanda yang (Administrator) menguasai
perkebunan (onderneming) kopi di kawasan Bunar dan sekitarnya.
Masih menurut Endang, berdasarkan kisah yang turun-temurun,
konon sejak jaman VOC hingga tahun 1908, kawasan itu masih merupakan perkebunan
kopi yang memiliki kualitas tinggi ketika itu. Di lereng puncak gunung Puteri
yang jaraknya dari kampung Bunar sekitar 1 km, areal dan puing bekas
pabrik berikut gedung tempat tinggal
Adm. Perkebunan itu masih tampak berupa reruntuhan tembok.
Sementara itu, di bawah bekas areal pabrik dan rumah gedung itu
akan ditemukan sebuah curug yang disebut warga sekitar dengan nama Curug Gedong
(Bahasa Sunda, artinya gedung). Bisa jadi karena memang berdekatan dengan bekas
pabrik dan gedung tempat tinggal tuan kebun kopi itu.
Untuk mencapai ke curug dan areal bekas pabrik itu, terpaksa
sepeda motor trail saya diparkir di halaman rumah Pak Endang Adnan. Bukannya tidak sanggup saya
mengendarainya , tapi karena larangan warga Bunar yang menganggap tabu membawa
kendaraan ke kawasan tersebut. Dengan
berjalan kaki saya pun menapaki jalan setapak yang licin dan berbatu yang
diselimuti lumut. Sehingga langkah kaki
pun mesti berhati-hati.
Sekitar lima belas kemudian, sampailah di lereng yang
menghijau oleh hamparan tanaman teh. Napas yang semula mulai tersengal, setelah
tiba di areal kebun teh terasa hilang berganti hawa segar pegunungan yang
dibarengi hembusan angin sepoi-sepoi. Tetapi perjalanan harus masih terus
berlanjut. Saya masih penasaran dengan Curug Gedong yang menyisakan kisah jaman
penjajahan kompeni Belanda itu.
Jalan setapak di antara pohon teh yang menghampar terasa
sedikit menurun. Tapi tak lama berselang, kembai menanjak lagi. Di antara
kesiur hembusan angin, tiba-tiba telinga saya menangkap suara gemuruh air yang
jatuh. Horeee... Rasa penat yang mulai menyergap seakan menghilang dengan
tiba-tiba, berganti semangat untuk segera tiba ke Curug Gedong itu.
O my God, untuk
mencapai ke arah suara gemuruh air itu saya harus kembali melangkah dengan
hati-hati. Karena kalau tidak, jalan setapak yang semakin menyempit karena di
tanahnya sering berjatuhan ke arah tebing curam di sebelah kanan, juga
batu-batunya semakin dipenuhi lumut yang menebal. Sungguh. Memang
sungguh-sungguh kawasan ini masih jarang didatangi banyak orang.
Setelah beberapa saat berjalan meniti bebatuan yang licin, maka tak lama kemudian sampailah
saya di curug Gedong itu. dari tebing yang menjulang dengan ketinggian sekitar
dua ratusan meter, air terjun yang bening airnya saat tiba di bawah berubah
menjadi kepulan asap putih. Sedangkan tebing yang dilalui air terjun itu
seluruh permukaannya yang tampak terlihat hanyalah batu dan batu belaka.
Dan yang membuat saya merasa takjub, bebatuan itu di antaranya terlihat
seperti batu yang telah ditatah oleh tangan ahli saja layaknya. Tipi-tipis dan berbentuk persegi.
Menurut Endang Adnan, kawasan ini sebenarnya sering juga
dikunjungi. Tapi sampai sekarang pengunjung itu terbatas pada para mahasiswa
yang akan melakukan latihan dasar pecinta alam saja. Sementara wisatawan umum
sepertinya belum mengenalnya sama sekali.
Oleh karena itu, alangkah bagusnya jika pemerintah Kabupaten
Tasikmalaya, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Budaya melirik ke arah Kampung Bunar ini, dan suatu
ketika menjadikannya sebagai destinasi wanawisata unggulan yang bisa jadi
mendatangkan pendapatan kas daerah.
Semoga. ***